Perbedaan pendapat boleh saja, tapi kerukunan adalah hal yang paling utama. Hal seperti ini tercerminkan di masjid agung Surakarta, Solo, Jawa Tengah. Masjid ini didirikan bersamaan dengan kraton kasunanan Surakarta. Sejak awal berdirinya masjid ini, pada saat menjalankan shalat terawih pada bulan ramadhan jumlah rakaatnya sampai 23 rakaat. Namun, sekitar 1980-an, kebijakan memisahkan ruangan itu pun muncul atas dasar pemikiran KH Muthohar Al Hafidz yang merupakan pengasuh Pondok Pesantren Ta’fid Wattaqlimil Qur’an yang satu komplek dengan Masjid Agung. Sebab, setiap kali shalat tarawih pada hitungan 8 rakaat, sejumlah jamaah meninggalkan masjid dan melanjutkan dengan shalat witir di rumah.
Dengan begitu di bawah atap masjid agung surakarta ini menjadi adanya dua imam serta dua jamaah. Masing - masing menjalankan shalat trawih 23 rakat dan 11 rakaat. Keunikan ini bisa dilihat di setiap bulan ramadhan dalam menjalankan shalat trawih. Sebenarnya pada saat shalat isya, para jamaah masih shalat di ruang utama masjid, yang dipimpin oleh seorang imam. Namun usai shalat isya serombongan jamaah yang berbeda pendapat bergegas meninggalkan ruang utama masjid. Mereka pindah ke sebelah utara ruang utama. Setelah jumlah jamaah terlihat cukup, maka pintu penghubung antara ruang utama masjid dengan ruang sebelah pun ditutup rapat.
Untuk saling menghormati dan tidak mengganggu shalat tarawih masing-masing jamaah, pihak takmir masjid mengatur besar kecilnya suara pengeras kedua imam tersebut. Ini dilakukan agar suara pengeras suara itu tidak saling mengganggu antara jamaah yang satu dengan jamaah yang berbeda.
2 komentar:
thanks ya bos dah mampir di Blog Serba Tersedia, ditunggu kunjungan berikutnya.
itu sih karena jamaah nya males aja sholat 23 rakaat.
bukan karena berbeda pendapat.
Posting Komentar